Jumat, 30 Januari 2015

RADIO

Ada yang semestinya saya lakukan ketika selesai shalat subuh dan mandi pukul 6 pagi lalu berangkat kuliah: siap-siap. Tapi sepertinya itu tidak bisa saya lakukan kalau sudah menyalakan radio di handphone dan mendengarkan siaran pagi di Radio. Siap-siap pun bisa saya entar-entarin.

Jujur, saya baru (kembali) mendengar Radio secara rutin pasca masa-masa SMA saya. Entah itu berapa lama. Yang jelas, cara Ibu saya membangunkan saya untuk sekolah ketika itu, ya, dengan menyalakan radio. Yaa walaupun saya sering mengunjungi situs dari stasiun radio tersebut: sekedar untuk melihat lagu-lagu apa yang terbaru, lagu-lagu apa yang sedang nge-hits, dan pastinya untuk tahu tangga lagu “Top 40” – lalu saya buru-buru buka handphone atau laptop untuk mengunduhnya. Perlu kalian tahu, standar ketinggalan jaman itu diukur bukan dari barang canggih terbaru apa yang dipunya, tapi dari seberapa tahu kita akan lagu-lagu terbaru dan nge-hits.

Saya tidak ingin dianggap ketinggalan jaman. Tapi, mendengar radio bukanlah semata soal mendengar lagu. Mendengar radio itu satu-satunya cara romantis yang masih tersisa dari kepunahan yang ditimbulkan kemajuan teknologi yang makin tak terbendung perkembangannya. Hanya di radio kita masih bisa mendengar orang yang menyampaikan perasaannya yang dipendam terhadap seseorang lewat lagu yang diminta. Dan, lagu tersebut seakan bisa mewakili perasaannya. Hal-hal semacam itupun dibahas oleh Presiden Jancukers, Sudjiwo Tedjo, melalui bukunya untuk yang masih ber-IQ Melati: Jiwo J#ncuk. Ia menceritakan bagaimana lagu itu dipesan dan diminta sambil menaruh harapan yang besar supaya orang yang disuka mendengarnya. Ah, saya pikir tak ada yang lebih romantis dari itu.

Bukan hanya itu. Bukan. Radio, bagi saya, adalah cara menyalurkan informasi yang baik. Televisi memang lebih visual daripada radio, tapi cara delivery penyiar membuat informasi jauh lebih menarik. Caranya, dengan memberi hal-hal yang lucu tentu. Dari informasi yang kita dapat dari radio bisa membuat penerima pesan terpingkal. Bahkan dari sebuah informasi yang remeh seperti tips tidak telat datang ke sekolah atau kampus.

Konsep melucu penyiar saat siaran, rasa-rasanya itu yang menjadi pakem stand-up comedy di Indonesia. Melucu dengan mengkonsepkannya (ditulis) terlebih dulu. Susah, tapi pasti bisa. Begitu mungkin kalau saya boleh meminjam semangat Pandji Pragiwaksono dari buku Merdeka Dalam Bercanda. Sebuah buku yang mendokumentasikan perjalanan stand-up comedy berkembang pesat di sini. Penyiar dan comic (sebutan buat stand-up comedian) adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan: keduanya melucu menggunakan kekuatan verbal (ucapan atau kata-kata). Setidaknya para pendiri stand-up comedy Indonesia itu memiliki latar belakang sebagai ex-penyiar. Pandji, Ernest Prakasa, dan lain-lain.

Yap, bagi saya itulah radio. Seperti yang sudah saya katakan, mendengar radio itu satu-satunya cara romantis yang masih tersisa dari kepunahan yang ditimbulkan kemajuan teknologi yang makin tak terbendung perkembangannya.

Menu

Recent Post